Google Ads

Rabu, 02 Maret 2011

http://pecintapuisi.wordpress.com/2007/12/15/pahlawan-tak-dikenal/


KARANGAN BUNGA

KARANGAN BUNGA
Oleh: Taufiq Ismail
Tiga anak kecil
Dalam langkah malu-malu
Datang ke Salemba
Sore itu
‘Ini dari kami bertiga
Pita hitam pada karangan bunga
Sebab kami ikut berduka
Bagi kakak yang ditembak mati
Siang tadi.’

1966

JALAN SEGARA

JALAN SEGARA
Oleh: Taufiq Ismail
Di sinilah penembakan
Kepengecutan
Dilakukan

Ketika pawai bergerak
Dalam panas matahari

Dan pelor pembayar pajak
Negeri ini

Ditembuskan ke pungung
Anak-anaknya sendiri

1966
(Tirani dan Benteng, Yayasan Ananda, Jakarta, 1993)







BENDERA LASKAR
Oleh: Taufiq Ismail
bendera-laskar.jpg
Kali pertama, di halaman kampus, pagi itu
Telah berkibar bendera laskar
Berkibar putih bagai mega
Dengan garis-garis yang merah
Karena telah dibayar dengan darah
Dia telah mendengar teriakan kita
Sepanjang jalan-jalan raya
Di atas truk tanpa tenda
Di atas jip, di depan pawai-pawai semua
Dia selalu mendahului kita
Dalam setiap gerakan
Kepadanya berbagi nestapa kita
Duka setengah tiang
Duka sejarah rnanusia
Yang telah lama dihinakan
Dan dimelaratkan

Di depan markas, berkibar bendera laskar
Kami semua melambaimu
Hai kawan dan lambang kami yang setia
Lambailah sejarah dari atas sana
Buat kami satu laskar
Buat generasi yang kukuh dan kekar.
1966

 

 

 

 

SEORANG TUKANG RAMBUTAN PADA ISTRINYA

SEORANG TUKANG RAMBUTAN PADA ISTRINYA
Oleh: Taufiq Ismail
“Tadi siang ada yang mati,
Dan yang mengantar banyak sekali
Ya. Mahasiswa-mahasiswa itu. Anak-anak sekolah
Yang dulu berteriak: dua ratus, dua ratus!
Sampai bensin juga turun harganya
Sampai kita bisa naik bis pasar yang murah pula
Mereka kehausan datam panas bukan main
Terbakar muka di atas truk terbuka

Saya lemparkan sepuluh ikat rambutan kita, bu
Biarlah sepuluh ikat juga
Memang sudah rezeki mereka
Mereka berteriak-teriak kegirangan dan berebutan
Seperti anak-anak kecil
“Hidup tukang rambutan! Hidup tukang rambutani”
Dan menyoraki saya. Betul bu, menyoraki saya
Dan ada yang turun dari truk, bu
Mengejar dan menyalami saya
“Hidup pak rambutan!” sorak mereka
Saya dipanggul dan diarak-arak sebentar
“Hidup pak rambutan!” sorak mereka
“Terima kasih, pak, terima kasih!
Bapak setuju karni, bukan?”
Saya mengangguk-angguk. Tak bisa bicara
“Doakan perjuangan kami, pak,”
Mereka naik truk kembali
Masih meneriakkan terima kasih mereka
“Hidup pak rambutan! Hidup rakyat!”
Saya tersedu, bu. Saya tersedu
Belum pernah seumur hidup
Orang berterima-kasih begitu jujurnya
Pada orang kecil seperti kita.

1966









NOVEL LAYAR TERKEMBANG
Tuti adalah putri sulung dari Raden Wiriatmadja. Ia dikenal sebagai seorang gadis yang berpendirian teguh dan aktif dalam berbagai kegiatan organisasi wanita. Watak Tuti yang selalu serius dan cenderung pendiam, sangat berbeda dengan adiknya, Maria. Ia seorang gadis yang lincah dan periang.
Suatu hari, keduanya pergi ke pasar ikan. Ketika sedang asyik melihat-lihat akuarium, mereka bertemu dengan seorang pemuda. Pertemuan itu berlanjut dengan perkenalan. Pemuda itu bernama Yusuf, seorang mahasiswa Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta. Ayahnya adalah Demang Munaf, tinggal di Martapura, Sumatera Selatan.
Perkenalan yang tiba-tiba itu menjadi akrab dengan diantarnya Tuti dan Maria pulang ke rumah. Bagi Yusuf, pertemuan itu berkesan cukup mendalam. Ia selalu teringat dengan kedua gadis tersebut, terutama Maria. Kepada gadis lincah inilah perhatian Yusuf lebih banyak tercurahkan. Menurutnya, wajah Maria yang cerah dan berseri-seri, serta bibirnya yang selalu tersenyum itu, memancarkan semangat hidup yang dinamis.
Esok harinya, ketika Yusuf pergi ke sekolah, tanpa disangka, Yusuf bertemu lagi dengan Tuti dan Maria di depan hotel Des Indes. Yusuf pun dengan senang hati menemani keduanya berjalan-jalan. Di perjalanan, mereka bercakap-cakap sangat akrab, terutama Maria dan Yusuf.
Sejak perkenalan itu, hubungan antara Maria dan Yusuf menjadi hubungan cinta. Sementara, Tuti tidak sempat memikirkan Yusuf karena kegiatan kongres-kongres yang amat sering diikutinya sehingga perhatiannya tidak tercurah pada kenalan baru mereka. Suatu ketika terjadi salah paham antara Tuti dan adiknya. Tuti tidak ingin adiknya diperbudak oleh perasaan dan rasa rendah diri di muka laki-laki. Ia ingin Maria tidak tergantung pada Yusuf karena hubungaan cinta itu. Tuti menganggap sikap Maria yang amat mengharapkan Yusuf itulah yang menyebabkan martabat kaum wanita justru direndahkan. Maria menjawab bahwa pikiran Tuti itu mengandaikan bahwa hubungan percintaan selalu diperhitungkan oleh hubungan fungsional. segala sesuatu ditimbang dan diukur dengan berbelit-belit. Maria bahkan menyinggung dengan keras bahwa sikap yang dipilih kakaknya sebagai penyebab putus dengan Hambali tunangannya. Pertengkaran itu berakibat jauh bagi tuti. Ia mulai berpikir dan goyah pada sikap yang selama ini diyakininya. Sikap tuti berangsur-angsur berubah. Di rumah pamannya dia menujukan rasa kasihnya pada rukmini sepupunya, dia mulai memerhatikan kesenian sandiwara yang dimainkan oleh adiknya dan
yusuf. Tuti mulai dapat menghargai hal-hal yang duku dianggapnya remeh. Selama itu baru di sadarinya bahwa apa yang di katakannya dalam kongres-kongres atau apa yang dipikirkannya tidak terjadi dalam kehidupan pribadinya. Ia mulai merasakan kesepiaan dalam kesendiriannya.
Di tempatnya bekarja, tuti mendapat teman baru, seorang guru muda bernama soepomo. Lambat laun perasaan cintanya bersemi. Namun proses itu tidak lama. Ia kembali idealis. Selama menjadi kekasih soepomo sebenarnya disadarinya juga bahwa hatinya tergerak bukan sikap yang tulus mencintai Soepomo. Ia yakin sikapnya pada Soepomo hanyalah pelarian dari kesepiaan batin dan dari kegoncangan pandangan-pandangannya semula. Ketika Soepomo akan mengambilnya menjadi istrinya, Tuti harus memilih kawin atau tetap setia pada organisasi Putri Sedar yang tidak dapat di tinggalkannya. Ia teringat peristiwa putusnya hubungan pertunangannya dengan Hambali. Akhirnya Tuti tetap mengambil keputusan ia harus meninggalkan Soepomo karena memang tidak di cintainya, walaupun usia Tuti telah 27 tahun.
Maria adiknya sakit parah. Ia terserang malaria, muntah darah dan TBC. Keluarga Wiraatmaja
akhirnya merelakan Maria di rawat di rumah sakit Pacet.
Perhatian Tuti beralih pada Maria. Ia amat sedih dan khawatir akan keadaan adiknya. Yusuf yang sering berkunjung ke Pacet secara kebetulan dan kemudian menjadi dekat pada Tuti.
Mereka
berdua
amat
prihatin
akan
keadaan
Maria Keadaan Maria berakhir dengan kematiannya. Sebelum meninggal Maria telah berpesan kepada Tuti supaya kelak kalau jiwanya tidak terselamatkan, kakaknya bersedia menjadi istri kekasihnya saat ini.
Tuti dan Yusuf telah kehilangaan seseorang yang mereka kasihi bersama. Sepeninggal Maria, Tuti merasakan bahwa Yusuf dapat dicintainya dengan tulus,demikian pula cinta Yusuf pada Tuti. Sekarang Tuti merasa yakin bahwa Yusuf adalah calon suami yang baik yang bisa dicintainya.










Sutan Takdir Alisyahbana

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh7vAcza4dJFSPoPFYRgQQeTjjzv1eLq30AXNJVzFytOHWRoK0WH8UOnBhFYexZcngAzH0BnhBYHocXgXwA3HJlSt1sbz6eTVUdBNI8FwfZPSp9uQ73hIw73-lggJWPyauma3qiusTciYE/s320/sutantakdir.jpg
Sutan Takdir Alisyahbana adalah motor dan pejuang gerakan pujangga Baru. Dia dilahirkan di Natal, Tapanuli Selatan, puda tanggal 11I Pebruari 1908. Buku roman pertamanya adalah Tak putus Dirundung Malang yang diterbitkan oleh Balai Pustaka, tempat dia bekerja.
Mula-mula Sutan Takdir Alisyahbana bersekolah di HD Bangkahulu, kemudian melanjutkan ke Kweekschool di Muara Enim, dan HBS di Bandung. Setelah itu, ia melanjutkan ke perguruan tinggi, yaitu RHS ( Recht HogeSchool) di Jakarta. Pada tahun 1942 Sutan Takdir Alisyahbana mendapat gelar Meester in de rechten (Sarjana Hukum).
Selain itu, Takdir mengikuii titiatrtentang ilmu bahasa umum, kebudayaan Asia, dan filsafat. Peranan Sutan Takdir Alisyahbana dalam bidang sastra, budaya, dan bahasa sangat besar. Ia telah menulis beberapa judul buku yang berhubungan dengan ketiga bidang tersebut. Kiprahnya di dunia sastra dimulai dengan tulisannya Tak Putus Dirundung Malang (1929). Disusul dengan karyanya yang lain, yaitu Diam Tak Kunjung padam (1932), Layar Terkembang 1936, Anak Perawan di Sarang Penyamun (1941l), Grotta Azzura (1970), Tebaran Mega, Kalah dan Menang (1978), Puisi Lama (1941), dan puisi Baru (1946). Karyanya yang lain yang bukan berupa karya sastra ialah Tata bahasa Bahasa Indonesia (1936), Pembimbing ke Filsafat (1946), Dari perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia (1957), dan Revolusi Masyarikat "dan Kebudayaan di indonesia (1966).
Salah satu karyanya yang mendapat sorotan masyarakat dan para peminat sastra yaitu Layar Terkembang. Novel ini telah mengalami cetak ulang beberapa kali. Selain itu, Layar Terkembang merupakan cerminan cita-citanya. Dalam novel ini Takdir merenuangkan gagasannya dalam memajukan masyarakat, terutama gagasan memajukan peranan kaum wanita. cita-cita Takdir digambarkannya melalui tokoh Tuti sebagai wanita Indonesia yang berpikiran maju yang aktif dalam pergerakan wanita. Layar Terkembang merupakan puncak karya sastra Pujangga Baru.




0 komentar: