Alam indonesia kita sangatlah kaya akan
keanekaragaman alam dan budaya, banyak sekali tempat-tempat wisata yang
ada di Indonesia ini yang tidak banyak orang tahu, salah satunya
adalah Tempat Wisata Bledug Kuwu.
Inilah tempat wisata fenomena alam unik yang diduga sudah berusia ribuan tahun yang bisa dilihat hingga hari ini di Kabupaten Grobogan. Hamparan lahan dengan luas sekitar 45 hektare ini berupa telaga lumpur bersuhu hangat (31 derajat celcius) yang setiap saat memuncratkan air bercampur lumpur ke atas. Bunyi bleduk-bleduk ketika fenomena alam itu terjadi, akhirnya digunakan untuk menyebut namanya. Sedangkan Kuwu, merujuk nama daerah. Objek wisata unik ini memang berada di Desa Kuwu, Kecamatan Kradenan, 28 kilometer ke arah timur Purwodadi, Ibu kota Kabupaten Grobogan.
Untuk menuju Tempat Wisata Bledug kuwu ini kita harus menempuh jalan darat, dari semarang melalui purwodadi sampai ke desa Kluwu. Selama perjalanan kita disuguhi banyak sekali pemandangan alam yang sangat indah, hamparan sawah yang hijau dan langit yang biru. Pemandangan bukit-bukit yang begitu indah, sehingga perjalanan untuk menuju tempat wisata ini tidaklah terasa membosankan. Karena mata kita sangat segar karena memandang pemandangan alam yang serba hijau dan indah.
Sesampai di Bledug Kuwu, ada perbedaan yang sangat mencolok. Selama perjalanan kita disuguhi oleh pemandangan alam yang indah dan subur, tetapi sangat bertolak belakang dengan Bledug Kuwu. Daerah yang sangat tandus, panas, dan tidak subur. Tetapi ini menjadikannya sangat indah, dua sisi yang berbeda. Selain menikmati keindahan wisata Bledug Kuwu, ternyata disana banyak sekali penduduk desa yang mencari nafkahnya dari Bledug Kuwu sebagai petani garam. Dari sumber air garam bledug kuwu, petani garam mengolahnya hingga menjadi garam dapur. Kemashyuran rasa garam gledug kuwu pernah tercatat dalam sejarah keraton surakarta. Hal ini dapat dibuktikan melalui berbagai keterangan dari masyarakat sekitarnya. Didaerah ini terdapat gunungan-gunungan kecil yang puncaknya mengeluarkan lumpur berwarna kekuning kuningan.
Bledug Kuwu mempunyai keistimewaan tersendiri, apabila dilihat dari peta geologi Dr AJ Panekoek, bahwasanya tanah-tanah yang ada bledugnya adalah jenis Aluvial Plains (tanah endapatan atau tanah mengendap) bersamaan dengan meletupnya bledug, keluarlah uap, gas dan air garam. Suara bledug terjadi karena muntahnya kawah yang berupa lumpur dengan warna kelabu atau kelabu kehitam hitaman, tetapi kalau dicampur dengan air maka akan menjadi putih. Apabila diendapkan air endapan bledug kuwu adalah tanah kapur dan tepat sekali apabila disitu dulunya laut kemudian menjadi daratan, karena erosi dari gunung kapur sudah tentu tanah endapannya mengandung kapur.
SEJARAH SINGKAT BLEDUG KUWU
Menurut cerita tutur, bledhug itu terjadi karena ulah Jaka Linglung, Putra Aji Saka atau Prabu Jaka dari kerajaan Medang Kamulan.
Pada satu ketika Jaka Linglung yang berwujud ular naga itu disuruh Aji Saka atau Prabu Jaka membunuh Dewata Cengkar yang telah berubah rupa menjadi seekor buaya putih yang sangat besar, sebagai syarat untuk diakui sebagai anaknya. Jaka Linglung berangkat ke laut selatan tempat Dewata Cengkar bertahta. Dia tidak sabar melalui darat, maka dia melalui dalam tanah, jalan yang dilalui oleh Jaka Linglung itu akhirnya berubah menjadi “tanah lendhut“ Bledhug yang terjadi adalah nafas Jaka Linglung selama dalam perjalanan itu. Jadi menurut kepercayaan orang, ada hubungan bledhug itu dengan laut selatan.
Kenyataan sampai sekarang, air dari bledhug itu mengandung garam dan ditambang oleh penduduk sekitarnya sebagai tambang garam yang diambil dari air bledhug tersebut.
Selanjutnya cerita Jaka Linglung menurut cerita Aji saka, adalah sebagai berikut : Dalam serat primbon Jayabaya ( hal. 23 - 24 ) terdapatlah pasal yang menyebutkan tentang perginya Prabu Esaka dalam bab V Piwulang Dewa, yang berbunyi :
Pun Jaka sengkala anakipun Empu Anggejali, patutan saking Dewi Saka, Putranipun Raja Sarkil ing pulo Najran Sareng Jaka Sengkolo jumeneng nata, jejuluk Sang Aji Saka jengkar saking negaripun lajeng Nga Jawi, tanpo wonten ing redi kandha ( kendeng ? ) tlatah banyuwangi jejuluk Empu Sengkala. Anuju ing Surya Adam, tahun 5164, Chandra 5316, Empu Sengkala macak titimangsa tahun jawi : kaeteng tahun Candra - Sengkala I Warsa. Tahun Rum anuju angka 444 warsa. Tahun Adam tahun Surya 5161 warsa. Tahun Masehi 78 jumenengan nata.
Aji Saka ke tanah Jawa dengan keempat orang muridnya. Di tanah Jawa dia mendirikan perguruan di ujung kulon. Kemudian mengembara sampai ke Galuh. Disini murid - muridnya ditinggalkannya, dan dia terus mengembara ke arah timur. Sampailah dia ke Medang Kamulan, tempat Prabu Dewata Cengkar, raja yang gemar makan manusia, bertahta .
Menurut serat Sindula ( Babat pajajaran, naskah carik ) negara Medang Kamulan dikuasai oleh seorang raja raksasa yang gemar makan manusia, bernama Prabu Dewata Cengkar. Akibat ulah raja itu rakyat menjadi sangat susah, sebab tiap hari harus dapat menyerahkan seorang manusia sebagai santapannya. Prabu Dewata Cengkar itu adalah putra Prabu Sindula, titisan Dewa Wisnu ke dunia di negara Galuh. Prabu Dewata Cengkar berontak kepada ayahnya Prabu Sidula kalah dan Moskwa Dewata Cengkar menggantikan kedudukan ayahnya sebagai raja Galuh. Kerajaan dipindahkan ke Medang Kamulan.
Sementara itu dalam pengembaraan Aji Saka sampailah ke Negara Medang Kamulan itu. Aji Saka datang ke rumah janda sengkeran, seorang janda patih di Medang Kamulan. Disitu, sebagai seorang guru (Brahmana) dia banyak mengajarkan ilmu sastra, ilmu penitisan dan ilmu pengetahuan agama. Dari cerita janda sengkeran diketahui bahwa dalam negara Medang Kamulan sedang dilanda kesusahan yang besar, sebab ulah prabu Dewata Cengkar yang gemar makan manusia. Sebagai seorang Brahmana Aji Saka ingin melepaskan rakyat Medang dari kesengsaraan itu. Maka dia minta kepada janda Sengkeran agar dia haturkan kepada Prabu Dewata Cengkar untuk dijadikan santapannya. Karena kehendak Aji Saka itu tidak dapat dihalangi oleh janda sengkeran, akhirnya Aji Saka dihaturkan ke Prabu Dewata Cengkar untuk dijadikan santapannya .
Di hadapan Prabu Dewata Cengkar, Aji Saka menyatakan mau disantap oleh Sang Prabu asal dapat meluluskan satu permintaannya, yaitu minta tanah seluas kain ikat kepalanya. Sang Prabu tidak keberatan meluluskan permohonan tersebut .
…. Pan apurun dados dhaharing Sang Nata, nanging dharber prajanji nuwun bumi medhang, sawijare kang dhestar, bumi dhen suwun sumiyeh, yen sampun tanpa semonggo karso aji. Serat (Sindula : 17) Demikianlah permohonan Aji Saka tersebut dikabulkan. Destar (Ikat Kepala) diminta oleh prabu Dewata Cengkar, kemudian ditebarkan (dijereng), ternyata kain ikat kepala itu menutupi seluruh daerah Medang Kamulan karena kalah janji, maka Prabu Dewata Cengkar beserta prajuritnya yang setia diusir dari Negeri Medang terjadilah perang yang hebat dan Prabu Dewata Cengkar terpojok di pantai laut selatan, akhirnya dia menceburkan diri ke laut, dan berubah menjadi buaya putih yang merajai laut selatan.
Dyan Dewata cengkar salah kedaden, pan dadi baya putih wis kena ing papa, ceritane kang rama gengiro ka giri - giri, lir endra suta kagila - gila ngajrihi .( Ibit : 18 ) .
Di laut selatan Dewata Cengkar mendirikan kerajaan manusia. Patihnya bernama Adipati Gajah Mina : Bupati Ki Tumenggung Mamprang : prajurit : Haryo Lodan, Ronggo saradulo demang Wikridipo : Ki Pandelengan mina : Santono Tumenggung Mamprang, Harya Kaluyu, Raden Saradula; Demang Wikridipo : Ki Pandelegan Mina : Santapan Tumenggung Mamprang hanya terdapat dua raja yaitu Ratu Kidul dan Prabu Dewata Cengkar. Keduanya saling berebut pengaruh dan saling ingin berkuasa.
Demikianlah setelah Dewata Cengkar kalah dan menjadi buaya putih, Aji Saka diangkat menjadi raja Medhang Kamulan dengan gelar Jaka atau Empu Lodang Widayaka, atau Prabu Aji Saka.
Setelah menjadi raja, Aji Saka ingat akan dua anak abdinya yang ditinggalkan di pulau Mejati, yaitu Ki Dora dan Ki Samboda. Maka diutus abdinya yang lain untuk memanggil kedua abdinya itu. Yang datang adalah Ki Dora sedang Ki Samboda masih tetap di Pulau Majeti menunggui pusaka Aji Saka seperti pesan yang pernah ditinggalkan oleh Aji saka. Melihat kenyataan tersebut, maka Ki Dora disuruh kembali memanggil Ki Samboda dengan membawa keris pusakanya sekali. Tetapi lama sudah kedua abdi itu tidak kembali. Maka Aji Saka memutuskan Ki Duga dan Ki Prayuga ke Pulau Majeti. Dua Prayuga sampailah di Pulau Majeti ditemukan bahwa Ki Dora dan Ki Samboda telah kedapatan mati bersama. Melihat keadaannya keduanya habis berkelahi dan mati sampyuh .
Ing Pulau Mejati Nora kepanggih pun Dora Samboda inulatan, kepanggih mati karone ANACARAKA lampus, labet DATASAWALA sami, sakti PADHAJAYANYA, sakti sareng lamus, MANGGABATANGA sih, sandagane karone magsih sinanding, suku pepet, cokro pengkal. ( Ibit : 21 ) melihat kematian Dora Samboda tersebut, Duga Prayoga segera kembali ke Medang Kamulan, atur periksa kepada Prabu Jaka. Prabu Jaka menerima laporan tersebut sangat sedih sebab sebenarnya dialah yang bersalah. Untuk mengenang peristiwa tersebut maka Prabu Jaka menceritakan CARAKA JAWA yang terdiri dari empat kalimat ( Utusan berjumlah empat orang ) dan masing - masing kalimat terdiri dari 2 huruf Nglegena ( peristiwa itu mengenai lima orang jadi CARAKA JAWA berjumlah dua puluh buah, caraka jawa itu dapat hidup dan berguna bagi kehidupan umat manusia harus disandangi dengan suku, wulu, cakra, cecak, pengkal, taling, taling tarung, layar dan sebagainya. Sedang huruf itu ada beberapa yang mati kalau dipangku
Susunan caraka jawa itu adalah :
HA NA CA RA KA
DA TA SA WA LA
PA DHA JA YA NYA
MA GA BA THA NGA
Caraka jawa tersebut disusun berdasarkan tua mudanya sastra, yaitu “sastra sandi sarimbagi”, setelah ditambah dengan huruf hidup : I, o, u, e, e menjadi berjumlah 25 buah kemudian ditambah lagi dengan pengkal, cakra, keret, cecak dan wignyan jumlah menjadi 30 buah. Lengkaplah sudah cara jawa dapat hidup dan kehidupan manusia didunia .
Dengan karya tersebut menandakan bahwa Aji Saka adalah seorang Brahmana yang wignya, mahir dalam segala ilmu dan ngilmu lahir dan batin. Walaupun sudah menjadi raja, Aji Saka masih tetap melalukan kesenangan lamanya, yaitu pergi menyepi, bertapa di hutan dan gunung keramat .
Pada suatu hari Aji Saka sedang menyepi di hutan dia melihat seekor ular naga yang sedang bertapa di sebuah goa. Aji Saka panas hatinya, ular tersebut dibunuhnya setelah ular naga itu mati terdengarlah suara .
Sikaara mateni ulo taami, busuk tembe Prabu Saka sirna anggabung kelanange pujangga muskha sampun ( Ibit : 44 ).
Suara tersebut berasal dari arwah ular naga yang mati itu. Dan umpatan ular itu nantinya menjadi kenyataan. Pada suatu hari Aji Saka ingin nantinya menjadi kenyataan. Pada suatu hari Aji Saka ingin menengok Nyai Janda Sengkeran. Dahulu ketika dia datang pertama kali di negara Medang Kamulan dia mengetahui Nyai Janda mempunyai seorang anak perempuan yang cantik putri tersebut sekarang mestinya sudah dewasa anak itu bernama Retno Dewi Rarasati. Ketika dia sampai ke rumah janda tersebut dia melihat Retno Dewi Rarasati sedang menumbuk padi. Kainnya terbuka keatas dan kelihatanlah pahanya yang mulus. melihat hal tersebut Aji Saka jatuh birahinya. Dia tidak menahan asmaranya maka jatuhlah air maninya ke bumi kebetulan pada waktu itu ada seekor ayam kate putih simbar delima milik Nyi janda. Air mani itu dimakannya kemudian pergi dilain pihak Retno Dewi Rarasati melihat Aji Saka seperti kena gendam dan jatuh cinta nafsu asmaranya tidak tertahankan, maka noktahnya jatuh cinta. Nafsu asmaranya tidak tertahankan maka noktahnya jatuh ke bumi. Noktah itupun dimakan oleh ayam kate tersebut .
Kehendak Dewata tidak dapat diingkari. Ayam tersebut kemudian bertelur sebutir. Prabu Aji Saka sangat malu dengan peristiwa tersebut, inilah pembalasan ular naga yang mati di bunuhnya selanjutnya telur tersebut diambil nyi janda dan ditaruh di padaringan. Aneh, beras di padaringan tidak habis - habis walaupun tiap hari diambil berasnya bahkan bertambah banyak. Kemudian telur itu dipindahkan kelumbung tempat menyimpan padi. Dilumbung telur itu menetas menjadi seekor ular naga yang sangat besar, Nyi janda Sengkeran sangat takut pada ular itu kemudian dia berlari untuk menghadap patih melaporkan peristiwa tersebut. Kemanapun Nyi janda pergi selalu diikuti ular naga tersebut. Akhirnya sampailah kehadapan patih terngger. Ki Patih sangat takut melihat ular tersebut lebih mengherankan lagi bahwa ular itu dapat berbicara seperti manusia .
Pujangga Gumuyu suka, kaki patih ojo wedi lan tho payo podha lengah, mengko suntutur rumiyen, Ki patih langkung ajrih, gumeter nggennyo alungguh, ngucap gugup agreragapan. Tik saka apa siriki, tanpa sangkan sumabur ponang pujangga. Tata jalma bisa ngucap. Kulo niki kaki patih, arsa sowan Kanjeng Rama ing Medang Srinarapati. Ki Dipati marijrih, wus sarep ing penggalih ( serat sindula : 46 ) .
Mendengar perkataan ular yang dapat bercakap - cakap layaknya seperti manusia Ki Patih tidak lagi. Maka dia melaporkan hal tersebut kepada Prabu Jaka. Menerima laporan tersebut, raja sangat malu. Dia teringat akan peristiwa masa lalu dengan Retno Dewi Rarasati. Kenyataan itu harus dihadapi dan diterimanya. Akhirnya dia berkata, bahwa laporan itu dia terima dan ular itu diberi nama ular linglung atau Jaka linglung. Raja mengakui sebagai putranya dengan syarat Jaka Linglung dapat membunuh mungsuh utamanya, yaitu Dewata Cengkar, yang sekarang telah beralih menjadi buaya putih bertahta di laut selatan. Jaka linglung menyanggupinya. Maka berangkatlah dia ke laut selatan. Jalan yang dilaluinya menjadi rata, maka dia masuk ke bumi, dan timbul kembali ke laut selatan.
Ingkang kamargen waradin nadyan jurang pan wiradin, kasuwen ambeles mangidul, lebul telengin samudro. [ ibit ;48 ]
Di laut selatan, dia ketemu dengan Ratu Angin ( Ratu Kidul ) yang sedang dilanda kesedihan, karena rakyatnya sedang mendapat gangguan hebat dari rakyat buaya putih Dewata Cengkar. Mengetahui kedatangan Jaka Linglung hendak membunuh Dewata Cengkar itu, Ratu Kidul sangat senang hatinya. Bahkan dia berjanji bila jika linglung dapat membunuh Dewata Cengkar, dia akan mengabdi kepadanya. Dijadikan Raja Selatan, walaupun sebentar, dia akan dijadikan menantunya dikawinkan dengan anaknya : Retno Blorong, kenyataannya Jaka dapat membunuh Dewata Cengkar dan janji Dewi Angin Angin dipenuhi (Ranggawarsito; Witorotyo 111, 1992 , 122 -12 ).
Setelah beberapa lama di laut selatan, Jaka Linglung minta ijin kepada Ratu Kidul untuk kembali ke Medang Kamulan. Berangkatlah dia dengan Istrinya Retno Blorong ke Medang Kamulan.
Dia mengarah ke barat, lewat Samudra, masuk ke dalam tanah, timbul kembali di tanah pasundan. Masuk ke tanah lagi timbul di Jawa Tengah itu sebabnya di Jawa banyak ditemukan sumber air yang mengandung garam ( Bleng ), sebab sumber itu merupakan petilasan Jaka Linglung tersebut. Dalam perjalanannya diteruskan ke timur lewat bawah tanah dan muncul kembali ke Demak di Desa Walak. Masuk ke tanah lagi dan muncul kembali di Grobogan dan berhenti di rawa - rawa garam .
Medal teleng jalat ri ambles pratala weruh benggang jebul ngardi nenggih in Pasundan milo ing sak puniko kuto Bleng ing tanah jawi, patilasan niro sang Linglung ngudi milo malih majin bumi jebul Demak, ing wala wastaniki, ambles malih ing pantala, anjebol ing Grobogan ing Ngumpak lami.(Sindula : 52).
Dari Ngembak ( Rawa - rawa ? ) Jaka Linglung meneruskan perjalanan ke Banyuwangi, terus ke Jana Cerewek, ke Banjar, Dikil. Di Jati, Jaka Linglung tidur, disitu upasnya jatuh. Tempat jatuhnya upas itu kemudian dinamakan Desa Gasak. Disinilah kemudian ada “Bleduk Upas“ yang tidak dapat dimakan. Jaka Linglung melanjutkan perjalanan sampai ke Kuwu. Disini agak lama. Dari Kuwu inilah Jaka Linglung datang menghadap Prabu Jaka di Medang Kamulan sejak itulah dia diterima sebagai Putera Prabu Jaka. Oleh Prabu Jaka, Jaka Linglung diangkat sebagai Putra Mahkota dengan gelarnya Prabu Anom Linglung Tunggul Wulung. Istana Kadipaten kemudian dipindahkan ke Desa Kesanga. Sedang istrinya Retno Blorong ditempatkan di Grobogan di Desa Ngembak, wilayah Medang Kana. Kedaton Kesanga disebut pula Kedaton Kadipaten, Tumenggungan, Kariyan Panggabean atau Kranggan. Beberapa waktu menjadi Adipati Anom Tunggul Wulung kemudian pergi bertapa di Tunggul Wulung Kesanga.
Inilah tempat wisata fenomena alam unik yang diduga sudah berusia ribuan tahun yang bisa dilihat hingga hari ini di Kabupaten Grobogan. Hamparan lahan dengan luas sekitar 45 hektare ini berupa telaga lumpur bersuhu hangat (31 derajat celcius) yang setiap saat memuncratkan air bercampur lumpur ke atas. Bunyi bleduk-bleduk ketika fenomena alam itu terjadi, akhirnya digunakan untuk menyebut namanya. Sedangkan Kuwu, merujuk nama daerah. Objek wisata unik ini memang berada di Desa Kuwu, Kecamatan Kradenan, 28 kilometer ke arah timur Purwodadi, Ibu kota Kabupaten Grobogan.
Untuk menuju Tempat Wisata Bledug kuwu ini kita harus menempuh jalan darat, dari semarang melalui purwodadi sampai ke desa Kluwu. Selama perjalanan kita disuguhi banyak sekali pemandangan alam yang sangat indah, hamparan sawah yang hijau dan langit yang biru. Pemandangan bukit-bukit yang begitu indah, sehingga perjalanan untuk menuju tempat wisata ini tidaklah terasa membosankan. Karena mata kita sangat segar karena memandang pemandangan alam yang serba hijau dan indah.
Sesampai di Bledug Kuwu, ada perbedaan yang sangat mencolok. Selama perjalanan kita disuguhi oleh pemandangan alam yang indah dan subur, tetapi sangat bertolak belakang dengan Bledug Kuwu. Daerah yang sangat tandus, panas, dan tidak subur. Tetapi ini menjadikannya sangat indah, dua sisi yang berbeda. Selain menikmati keindahan wisata Bledug Kuwu, ternyata disana banyak sekali penduduk desa yang mencari nafkahnya dari Bledug Kuwu sebagai petani garam. Dari sumber air garam bledug kuwu, petani garam mengolahnya hingga menjadi garam dapur. Kemashyuran rasa garam gledug kuwu pernah tercatat dalam sejarah keraton surakarta. Hal ini dapat dibuktikan melalui berbagai keterangan dari masyarakat sekitarnya. Didaerah ini terdapat gunungan-gunungan kecil yang puncaknya mengeluarkan lumpur berwarna kekuning kuningan.
Bledug Kuwu mempunyai keistimewaan tersendiri, apabila dilihat dari peta geologi Dr AJ Panekoek, bahwasanya tanah-tanah yang ada bledugnya adalah jenis Aluvial Plains (tanah endapatan atau tanah mengendap) bersamaan dengan meletupnya bledug, keluarlah uap, gas dan air garam. Suara bledug terjadi karena muntahnya kawah yang berupa lumpur dengan warna kelabu atau kelabu kehitam hitaman, tetapi kalau dicampur dengan air maka akan menjadi putih. Apabila diendapkan air endapan bledug kuwu adalah tanah kapur dan tepat sekali apabila disitu dulunya laut kemudian menjadi daratan, karena erosi dari gunung kapur sudah tentu tanah endapannya mengandung kapur.
SEJARAH SINGKAT BLEDUG KUWU
Menurut cerita tutur, bledhug itu terjadi karena ulah Jaka Linglung, Putra Aji Saka atau Prabu Jaka dari kerajaan Medang Kamulan.
Pada satu ketika Jaka Linglung yang berwujud ular naga itu disuruh Aji Saka atau Prabu Jaka membunuh Dewata Cengkar yang telah berubah rupa menjadi seekor buaya putih yang sangat besar, sebagai syarat untuk diakui sebagai anaknya. Jaka Linglung berangkat ke laut selatan tempat Dewata Cengkar bertahta. Dia tidak sabar melalui darat, maka dia melalui dalam tanah, jalan yang dilalui oleh Jaka Linglung itu akhirnya berubah menjadi “tanah lendhut“ Bledhug yang terjadi adalah nafas Jaka Linglung selama dalam perjalanan itu. Jadi menurut kepercayaan orang, ada hubungan bledhug itu dengan laut selatan.
Kenyataan sampai sekarang, air dari bledhug itu mengandung garam dan ditambang oleh penduduk sekitarnya sebagai tambang garam yang diambil dari air bledhug tersebut.
Selanjutnya cerita Jaka Linglung menurut cerita Aji saka, adalah sebagai berikut : Dalam serat primbon Jayabaya ( hal. 23 - 24 ) terdapatlah pasal yang menyebutkan tentang perginya Prabu Esaka dalam bab V Piwulang Dewa, yang berbunyi :
Pun Jaka sengkala anakipun Empu Anggejali, patutan saking Dewi Saka, Putranipun Raja Sarkil ing pulo Najran Sareng Jaka Sengkolo jumeneng nata, jejuluk Sang Aji Saka jengkar saking negaripun lajeng Nga Jawi, tanpo wonten ing redi kandha ( kendeng ? ) tlatah banyuwangi jejuluk Empu Sengkala. Anuju ing Surya Adam, tahun 5164, Chandra 5316, Empu Sengkala macak titimangsa tahun jawi : kaeteng tahun Candra - Sengkala I Warsa. Tahun Rum anuju angka 444 warsa. Tahun Adam tahun Surya 5161 warsa. Tahun Masehi 78 jumenengan nata.
Aji Saka ke tanah Jawa dengan keempat orang muridnya. Di tanah Jawa dia mendirikan perguruan di ujung kulon. Kemudian mengembara sampai ke Galuh. Disini murid - muridnya ditinggalkannya, dan dia terus mengembara ke arah timur. Sampailah dia ke Medang Kamulan, tempat Prabu Dewata Cengkar, raja yang gemar makan manusia, bertahta .
Menurut serat Sindula ( Babat pajajaran, naskah carik ) negara Medang Kamulan dikuasai oleh seorang raja raksasa yang gemar makan manusia, bernama Prabu Dewata Cengkar. Akibat ulah raja itu rakyat menjadi sangat susah, sebab tiap hari harus dapat menyerahkan seorang manusia sebagai santapannya. Prabu Dewata Cengkar itu adalah putra Prabu Sindula, titisan Dewa Wisnu ke dunia di negara Galuh. Prabu Dewata Cengkar berontak kepada ayahnya Prabu Sidula kalah dan Moskwa Dewata Cengkar menggantikan kedudukan ayahnya sebagai raja Galuh. Kerajaan dipindahkan ke Medang Kamulan.
Sementara itu dalam pengembaraan Aji Saka sampailah ke Negara Medang Kamulan itu. Aji Saka datang ke rumah janda sengkeran, seorang janda patih di Medang Kamulan. Disitu, sebagai seorang guru (Brahmana) dia banyak mengajarkan ilmu sastra, ilmu penitisan dan ilmu pengetahuan agama. Dari cerita janda sengkeran diketahui bahwa dalam negara Medang Kamulan sedang dilanda kesusahan yang besar, sebab ulah prabu Dewata Cengkar yang gemar makan manusia. Sebagai seorang Brahmana Aji Saka ingin melepaskan rakyat Medang dari kesengsaraan itu. Maka dia minta kepada janda Sengkeran agar dia haturkan kepada Prabu Dewata Cengkar untuk dijadikan santapannya. Karena kehendak Aji Saka itu tidak dapat dihalangi oleh janda sengkeran, akhirnya Aji Saka dihaturkan ke Prabu Dewata Cengkar untuk dijadikan santapannya .
Di hadapan Prabu Dewata Cengkar, Aji Saka menyatakan mau disantap oleh Sang Prabu asal dapat meluluskan satu permintaannya, yaitu minta tanah seluas kain ikat kepalanya. Sang Prabu tidak keberatan meluluskan permohonan tersebut .
…. Pan apurun dados dhaharing Sang Nata, nanging dharber prajanji nuwun bumi medhang, sawijare kang dhestar, bumi dhen suwun sumiyeh, yen sampun tanpa semonggo karso aji. Serat (Sindula : 17) Demikianlah permohonan Aji Saka tersebut dikabulkan. Destar (Ikat Kepala) diminta oleh prabu Dewata Cengkar, kemudian ditebarkan (dijereng), ternyata kain ikat kepala itu menutupi seluruh daerah Medang Kamulan karena kalah janji, maka Prabu Dewata Cengkar beserta prajuritnya yang setia diusir dari Negeri Medang terjadilah perang yang hebat dan Prabu Dewata Cengkar terpojok di pantai laut selatan, akhirnya dia menceburkan diri ke laut, dan berubah menjadi buaya putih yang merajai laut selatan.
Dyan Dewata cengkar salah kedaden, pan dadi baya putih wis kena ing papa, ceritane kang rama gengiro ka giri - giri, lir endra suta kagila - gila ngajrihi .( Ibit : 18 ) .
Di laut selatan Dewata Cengkar mendirikan kerajaan manusia. Patihnya bernama Adipati Gajah Mina : Bupati Ki Tumenggung Mamprang : prajurit : Haryo Lodan, Ronggo saradulo demang Wikridipo : Ki Pandelengan mina : Santono Tumenggung Mamprang, Harya Kaluyu, Raden Saradula; Demang Wikridipo : Ki Pandelegan Mina : Santapan Tumenggung Mamprang hanya terdapat dua raja yaitu Ratu Kidul dan Prabu Dewata Cengkar. Keduanya saling berebut pengaruh dan saling ingin berkuasa.
Demikianlah setelah Dewata Cengkar kalah dan menjadi buaya putih, Aji Saka diangkat menjadi raja Medhang Kamulan dengan gelar Jaka atau Empu Lodang Widayaka, atau Prabu Aji Saka.
Setelah menjadi raja, Aji Saka ingat akan dua anak abdinya yang ditinggalkan di pulau Mejati, yaitu Ki Dora dan Ki Samboda. Maka diutus abdinya yang lain untuk memanggil kedua abdinya itu. Yang datang adalah Ki Dora sedang Ki Samboda masih tetap di Pulau Majeti menunggui pusaka Aji Saka seperti pesan yang pernah ditinggalkan oleh Aji saka. Melihat kenyataan tersebut, maka Ki Dora disuruh kembali memanggil Ki Samboda dengan membawa keris pusakanya sekali. Tetapi lama sudah kedua abdi itu tidak kembali. Maka Aji Saka memutuskan Ki Duga dan Ki Prayuga ke Pulau Majeti. Dua Prayuga sampailah di Pulau Majeti ditemukan bahwa Ki Dora dan Ki Samboda telah kedapatan mati bersama. Melihat keadaannya keduanya habis berkelahi dan mati sampyuh .
Ing Pulau Mejati Nora kepanggih pun Dora Samboda inulatan, kepanggih mati karone ANACARAKA lampus, labet DATASAWALA sami, sakti PADHAJAYANYA, sakti sareng lamus, MANGGABATANGA sih, sandagane karone magsih sinanding, suku pepet, cokro pengkal. ( Ibit : 21 ) melihat kematian Dora Samboda tersebut, Duga Prayoga segera kembali ke Medang Kamulan, atur periksa kepada Prabu Jaka. Prabu Jaka menerima laporan tersebut sangat sedih sebab sebenarnya dialah yang bersalah. Untuk mengenang peristiwa tersebut maka Prabu Jaka menceritakan CARAKA JAWA yang terdiri dari empat kalimat ( Utusan berjumlah empat orang ) dan masing - masing kalimat terdiri dari 2 huruf Nglegena ( peristiwa itu mengenai lima orang jadi CARAKA JAWA berjumlah dua puluh buah, caraka jawa itu dapat hidup dan berguna bagi kehidupan umat manusia harus disandangi dengan suku, wulu, cakra, cecak, pengkal, taling, taling tarung, layar dan sebagainya. Sedang huruf itu ada beberapa yang mati kalau dipangku
Susunan caraka jawa itu adalah :
HA NA CA RA KA
DA TA SA WA LA
PA DHA JA YA NYA
MA GA BA THA NGA
Caraka jawa tersebut disusun berdasarkan tua mudanya sastra, yaitu “sastra sandi sarimbagi”, setelah ditambah dengan huruf hidup : I, o, u, e, e menjadi berjumlah 25 buah kemudian ditambah lagi dengan pengkal, cakra, keret, cecak dan wignyan jumlah menjadi 30 buah. Lengkaplah sudah cara jawa dapat hidup dan kehidupan manusia didunia .
Dengan karya tersebut menandakan bahwa Aji Saka adalah seorang Brahmana yang wignya, mahir dalam segala ilmu dan ngilmu lahir dan batin. Walaupun sudah menjadi raja, Aji Saka masih tetap melalukan kesenangan lamanya, yaitu pergi menyepi, bertapa di hutan dan gunung keramat .
Pada suatu hari Aji Saka sedang menyepi di hutan dia melihat seekor ular naga yang sedang bertapa di sebuah goa. Aji Saka panas hatinya, ular tersebut dibunuhnya setelah ular naga itu mati terdengarlah suara .
Sikaara mateni ulo taami, busuk tembe Prabu Saka sirna anggabung kelanange pujangga muskha sampun ( Ibit : 44 ).
Suara tersebut berasal dari arwah ular naga yang mati itu. Dan umpatan ular itu nantinya menjadi kenyataan. Pada suatu hari Aji Saka ingin nantinya menjadi kenyataan. Pada suatu hari Aji Saka ingin menengok Nyai Janda Sengkeran. Dahulu ketika dia datang pertama kali di negara Medang Kamulan dia mengetahui Nyai Janda mempunyai seorang anak perempuan yang cantik putri tersebut sekarang mestinya sudah dewasa anak itu bernama Retno Dewi Rarasati. Ketika dia sampai ke rumah janda tersebut dia melihat Retno Dewi Rarasati sedang menumbuk padi. Kainnya terbuka keatas dan kelihatanlah pahanya yang mulus. melihat hal tersebut Aji Saka jatuh birahinya. Dia tidak menahan asmaranya maka jatuhlah air maninya ke bumi kebetulan pada waktu itu ada seekor ayam kate putih simbar delima milik Nyi janda. Air mani itu dimakannya kemudian pergi dilain pihak Retno Dewi Rarasati melihat Aji Saka seperti kena gendam dan jatuh cinta nafsu asmaranya tidak tertahankan, maka noktahnya jatuh cinta. Nafsu asmaranya tidak tertahankan maka noktahnya jatuh ke bumi. Noktah itupun dimakan oleh ayam kate tersebut .
Kehendak Dewata tidak dapat diingkari. Ayam tersebut kemudian bertelur sebutir. Prabu Aji Saka sangat malu dengan peristiwa tersebut, inilah pembalasan ular naga yang mati di bunuhnya selanjutnya telur tersebut diambil nyi janda dan ditaruh di padaringan. Aneh, beras di padaringan tidak habis - habis walaupun tiap hari diambil berasnya bahkan bertambah banyak. Kemudian telur itu dipindahkan kelumbung tempat menyimpan padi. Dilumbung telur itu menetas menjadi seekor ular naga yang sangat besar, Nyi janda Sengkeran sangat takut pada ular itu kemudian dia berlari untuk menghadap patih melaporkan peristiwa tersebut. Kemanapun Nyi janda pergi selalu diikuti ular naga tersebut. Akhirnya sampailah kehadapan patih terngger. Ki Patih sangat takut melihat ular tersebut lebih mengherankan lagi bahwa ular itu dapat berbicara seperti manusia .
Pujangga Gumuyu suka, kaki patih ojo wedi lan tho payo podha lengah, mengko suntutur rumiyen, Ki patih langkung ajrih, gumeter nggennyo alungguh, ngucap gugup agreragapan. Tik saka apa siriki, tanpa sangkan sumabur ponang pujangga. Tata jalma bisa ngucap. Kulo niki kaki patih, arsa sowan Kanjeng Rama ing Medang Srinarapati. Ki Dipati marijrih, wus sarep ing penggalih ( serat sindula : 46 ) .
Mendengar perkataan ular yang dapat bercakap - cakap layaknya seperti manusia Ki Patih tidak lagi. Maka dia melaporkan hal tersebut kepada Prabu Jaka. Menerima laporan tersebut, raja sangat malu. Dia teringat akan peristiwa masa lalu dengan Retno Dewi Rarasati. Kenyataan itu harus dihadapi dan diterimanya. Akhirnya dia berkata, bahwa laporan itu dia terima dan ular itu diberi nama ular linglung atau Jaka linglung. Raja mengakui sebagai putranya dengan syarat Jaka Linglung dapat membunuh mungsuh utamanya, yaitu Dewata Cengkar, yang sekarang telah beralih menjadi buaya putih bertahta di laut selatan. Jaka linglung menyanggupinya. Maka berangkatlah dia ke laut selatan. Jalan yang dilaluinya menjadi rata, maka dia masuk ke bumi, dan timbul kembali ke laut selatan.
Ingkang kamargen waradin nadyan jurang pan wiradin, kasuwen ambeles mangidul, lebul telengin samudro. [ ibit ;48 ]
Di laut selatan, dia ketemu dengan Ratu Angin ( Ratu Kidul ) yang sedang dilanda kesedihan, karena rakyatnya sedang mendapat gangguan hebat dari rakyat buaya putih Dewata Cengkar. Mengetahui kedatangan Jaka Linglung hendak membunuh Dewata Cengkar itu, Ratu Kidul sangat senang hatinya. Bahkan dia berjanji bila jika linglung dapat membunuh Dewata Cengkar, dia akan mengabdi kepadanya. Dijadikan Raja Selatan, walaupun sebentar, dia akan dijadikan menantunya dikawinkan dengan anaknya : Retno Blorong, kenyataannya Jaka dapat membunuh Dewata Cengkar dan janji Dewi Angin Angin dipenuhi (Ranggawarsito; Witorotyo 111, 1992 , 122 -12 ).
Setelah beberapa lama di laut selatan, Jaka Linglung minta ijin kepada Ratu Kidul untuk kembali ke Medang Kamulan. Berangkatlah dia dengan Istrinya Retno Blorong ke Medang Kamulan.
Dia mengarah ke barat, lewat Samudra, masuk ke dalam tanah, timbul kembali di tanah pasundan. Masuk ke tanah lagi timbul di Jawa Tengah itu sebabnya di Jawa banyak ditemukan sumber air yang mengandung garam ( Bleng ), sebab sumber itu merupakan petilasan Jaka Linglung tersebut. Dalam perjalanannya diteruskan ke timur lewat bawah tanah dan muncul kembali ke Demak di Desa Walak. Masuk ke tanah lagi dan muncul kembali di Grobogan dan berhenti di rawa - rawa garam .
Medal teleng jalat ri ambles pratala weruh benggang jebul ngardi nenggih in Pasundan milo ing sak puniko kuto Bleng ing tanah jawi, patilasan niro sang Linglung ngudi milo malih majin bumi jebul Demak, ing wala wastaniki, ambles malih ing pantala, anjebol ing Grobogan ing Ngumpak lami.(Sindula : 52).
Dari Ngembak ( Rawa - rawa ? ) Jaka Linglung meneruskan perjalanan ke Banyuwangi, terus ke Jana Cerewek, ke Banjar, Dikil. Di Jati, Jaka Linglung tidur, disitu upasnya jatuh. Tempat jatuhnya upas itu kemudian dinamakan Desa Gasak. Disinilah kemudian ada “Bleduk Upas“ yang tidak dapat dimakan. Jaka Linglung melanjutkan perjalanan sampai ke Kuwu. Disini agak lama. Dari Kuwu inilah Jaka Linglung datang menghadap Prabu Jaka di Medang Kamulan sejak itulah dia diterima sebagai Putera Prabu Jaka. Oleh Prabu Jaka, Jaka Linglung diangkat sebagai Putra Mahkota dengan gelarnya Prabu Anom Linglung Tunggul Wulung. Istana Kadipaten kemudian dipindahkan ke Desa Kesanga. Sedang istrinya Retno Blorong ditempatkan di Grobogan di Desa Ngembak, wilayah Medang Kana. Kedaton Kesanga disebut pula Kedaton Kadipaten, Tumenggungan, Kariyan Panggabean atau Kranggan. Beberapa waktu menjadi Adipati Anom Tunggul Wulung kemudian pergi bertapa di Tunggul Wulung Kesanga.